Minggu, 16 Oktober 2016

[Review] Inferno (2016)


His greatest challenge. Humanity's last hope.

Inferno dibuka dengan tensi yang begitu tinggi. Prolog yang kritis dan visual yang begitu mendebarkan. Sangat menarik untuk menebak-nebak apakah sebenarnya premis yang akan diangkat untuk mengantar kita kepada "Inferno".

Bermula dari diputarnya video presentasi seorang Bertrand Zobrist (Ben Foster) tentang bumi yang telah rusak karena populasi manusia yang tidak terkontrol. Zobrist adalah seorang yang memiliki pengaruh terhadap sekte rahasia yang meyakini bahwa manusia harus dimusnahkan demi keseimbangan dan keberlangsungan bumi. Dari dialah, solusi bernama "inferno" diyakini sebagai pemusnah massal yang paling ampuh demi merealisasikan misinya.

Disamping itu, Prof. Robert Langdon (Tom Hanks yang masih dipercaya untuk memerankan Langdon) terbangun di rumah sakit dengan kondisi amnesia, tak tahu siapa dan apa yang sedang ia hadapi sebelum pingsan. Dr. Siena Brooks, dokter yang menangani Langdon pun akhirnya turut terlibat dalam situasi yang rumit...

Inferno bisa dibilang mengalami pasang surut dari segi penyajian cerita. Tidak stabil dan rumit berujung misteri yang terlalu lama untuk dijawab. Tidak hanya demikian, saat beberapa misteri terjawab pun, tidak mengena. Ekplanasi yang terlalu terburu-buru dan berliku memberikan kesan bahwa Inferno tidak terlalu menghargai menit demi menit misteri yang diberikan pada awal film.

Durasi 2 jam dirasa terlalu "sebentar" untuk menjabarkan kompleksitas novel Dan Brown. Ya, jelas dibanding pendahulunya The Da Vinci Code ataupun Angels & Demons, Inferno adalah yang paling cepat dari segi durasi. Dampaknya: kompleksitas misteri yang diangkat, banyaknya karakter yang dilibatkan tidak sebanding dengan kualitas jawaban-jawaban yang dimunculkan. Jawaban yang cepat, singkat, kadang kabur, mudah dilupakan, tapi kadang terlampau ekplisit, disitulah Inferno malah menjadi "murah" bagi para pencinta genre sejenis.

Selain cerita dan durasi, Inferno bisa dibilang lemah dari segi pemilahan bagian, yang mana yang vital, yang mana yang tidak. Terasa sekali ketika porsi dari seorang Harry Sims 'The Provost' (Irfan Khan) sangat-sangat kurang. Padahal jika nanti diperhatikan, dialah yang punya andil terbesar di film ini.

Intinya, kali ini Ron Howard tidak memperhatikan sudah berapa banyak premis yang ia lempar, namun tidak sebanyak konklusinya. Malahan aksi kejar-kejaran ala film action medioker lah yang diperbanyak. Latarnya pun juga terlalu ramai. Khas seperti film-film sebelumnya memang. Namun celakanya, distraksi inilah yang membuat potongan puzzle di film ini jadi agak sulit untuk disusun. Tiap scene terkadang tidak seimbang peletakannya. Saat ada scene yang bisa dibilang oke, namun scene berikutnya terkesan murahan, begitu seterusnya.





Read Another


CATEGORIES


Tags


0 Comment :