Sabtu, 23 Oktober 2010

Peranan Pria dan Wanita Kristen Masa kini


Perubahan peranan kaum pria

Fokus terhadap peranan pria dalam debat kesetaraan jender di Norwegia masih menyisakan keraguan. Pria umumnya dianggap sebagai kelompok jender yang kuat dan dominan sementara wanita cenderung mendapat perlakuan diskriminasi, yang menghasilkan kebutuhan untuk dilakukannya berabgai kegiatan khusus dan positif. Pandangan ini menjadi landasan penting bagi pencapaian kebebasan wanita. Pada saat yang bersamaan, hal tersebut mencerminkan kegagalan dalam memahami pria sebagai sebuah jender. Pria bukan merupakan kelompok yang sama, atau dapat menjalankan peranannya sendiri. Maskulin tidak selalu berarti kekuasaan. Pria memiliki berbagai cara dalam menjalani kehidupan dan memiliki berbagai minat.
Statistik sosial dan kesehatan menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat Barat menuntut harga yang tinggi dari kaum pria. Pria sering kali menjadi pengguna obat-obatan terlarang dan menghuni sel penjara. Usia hidup pria lebih pendek dibandingkan dengan wanita. Anak laki-laki memiliki pola tingkah laku yang lebih sulit di sekolah dibandingkan dengan anak perempuan. Angka putus sekolah anak laki-laki cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan.
Kebutuhan anak-anak untuk berhubungan dengan pria dan wanita di institusi penitipan, sekolah dan kehidupan keluarga telah dicatat secara baik. Ada kekhawatiran umum dari pandangan kesetaraan jender, bahwa institusi penitipan dan sekolah tetap merupakan lingkungan yang didominasi kaum wanita. Persentase keseluruhan jumlah tenaga pria yang bekerja di institusi penitipan di Norwegia hanya 7%, sementara persentase guru pria di sekolah taman kanak-kanak hanya 12% (data tahun 2002). Pemerintah berusaha untuk meningkatkan kesadaran, dan memajukan kesetaraan jender dalam bidang ini, serta telah menetapkan untuk mencapai target 20 % pria bekerja di institusi penitipan anak pada tahun 2007.
Salah satu area dimana peranan pria telah banyak mengalami perubahan di Norwegia melibatkan peranan pria sebagai ayah. Penelitian menunjukkan bahwa sikap keayahan memicu pria memutuskan dengan jelas batas bentuk tradisional maskulinitas. Kuota cuti bagi mereka yang baru menjadi ayah diperkenalkan pada tahun 1993, dan dirancang untuk memperkuat hubungan ayah dengan anak, serta memberikan tanda kebutuhan bagi ayah untuk berpartisipasi secara aktif dalam merawat anak mereka.
Perubahan peranan pria tidak hanya melibatkan hubungan pria dengan wanita, namun juga dalam hal yang berhubungan dengan pria lain, tugas-tugas baru dan institusi sosial yang dikelola pria. Pada tahun 2002, pusat penerangan bagi pria yang didanai oleh pemerintah, REFORM, didirikan untuk memajukan kesetaraan jender dengan membantu memperbaiki kondisi hidup kaum pria dan memobilisasi penghasilan pria untuk pembangunan di area yang dulunya tidak berhubungan dengan peranan pria.

VISI-MISI
VISI:

·         Sadar dan yakin akan kesamaan martabat pria dan wan ita yang diciptakan menurut citra Allah (Kej.1: 26-28).

·         Sadar akan status,dan peran wanita sebagai anggota Gereja yang ddijiwai semangat kasih Kristus.

·         Sadar akan status dan peran wanita sebagai warga masyarakat, bangsa dan negara yang dijiwai Pancasila.

MISI:

·         Mendorong dan membina Wanita Katolik untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan dalam pengabdian kepada keluarga, Gereja dan masyarakat

·         Menghimpun aspirasi dan potensi Wanita Katolik secara optimal dan berkesinambungan.

·         Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat untuk mengangkat harkat manusia.

SEJARAH
26 Juni1924 Wanita Kato/ik didirikan di Yogyakarta 5 Februari 1952 Wanita Katolik disahkan sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman
SUMBER REFERENSI: 1981 Familiaris consortio 1988 Christifide/es laici
1990 Mulieris dignitatem
1994 Surat Paus Yohanes Paulus II kepada para Wanita
1995 Pedoman Gereja Kato/ik Indonesia 17-21 1999 Hasil Konferensi PBB
tentang Wanita di Bejing

AD-ART Wanita Katolik Indonesia

Tujuan dan fungsi

A. TU.JUAN:
  1. Mengungkapkan iman, harapan don kasih kristiani
  2. Mengembangkan kualitas wan ita secara utuh
  3. Mengemoangkan peran ganda sebagoi wanita da/am ke/uarga, Gereja don masyarakat.
  4. Meningkatkan peranserta wanita dalam pembangunan bangs a dan negara.
B. FUNGSI:
  1. Berperan sebaga; wadah kesatuan gerak Wanita Katolik.
  2. Membekali wanita agar menjadi lebih berdaya melaksanakan perannya dalam keluarga, masyarakat dan Gereja.
  3. Menghimpun aspirasi dan potensi Wanita Katolik.
c. STATUS
  1. Menurut hukum Gereja Wanita Katolik Republik Indonesia termasuk perkumpulan privat.
  2. Menurut hukum sipil Wanita Katolik Republik Indonesia berstatus sebagai badan hukum dan organisasi kemasyarakatan.
D. STRUKTUR: campuran
  1. Mengikuti struktur pemerintahan: Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan Daerah
  2. Mengikuti struktur Gereja: Cabang dan Ranting menurut Paroki.

KEGIATAN

Nampak dari aneka bidang:
.:. Keorganisasian
.:. Kesejahteraan
.:. Pendidikan, Pengembangan dan Pelatihan
.:. Komunikasi dan Dokumentasi
.:. Usaha
.:. Hubungan Luar
.:. Yayasan
Emansipasi wanita adalah realitas yang telah menjadi bagian kehidupan demokrasi bangsa ini. Persamaan hak antara pria dan wanita untuk menentukan nasibnya, telah dijamin kebebasannya secara riil sejak Declaration of Human Right disahkan. Maka dalam semua segmen kehidupan, peran wanita sangat dibutuhkan sebagai inspirator, motivator dan penyeimbang kekuatan. Sudah barang tentu wanita bukan lagi sebagai obyek penderita, namun telah pula menjadi subyek penentu masa depan bangsa.
Perjuangan hak-hak perempuan di negeri ini telah dirintis oleh seorang wanita ningrat dari kabupaten Rembang. Ia menjadi cerminan bagi perempuan pribumi untuk maju dan bangkit. R.A Kartini putri seorang bupati Jepara, lahir 21 April 1879 dalam lingkungan priyayi. Kondisi inilah yang membawanya dapat mengenyam pendidikan ELS ( Europese Lagere School ) sampai usia 12 tahun. Pada mas pingitan ia banyak melakukan korespondensi dengan kawan-kawan dari Belanda. Selain itu kegemarannya membaca buku dan surat kabar menjadikan wawasannya bertambah luas. Pandangan dan keinginannya memajukan kaum perempuan pribumi, direalisasikan dengan membentuk sekolah perempuan di Jepara. Wanita asal Belanda yang sangat mendukung perjuangannya adalah Rosa Abendanon.
Kegigihan Kartini dalam menyuarakan nasib kaumnya terbaca dari berbagai tulisan artikelnya di media cetak maupun kumpulan surat korespondensinya. Beberapa tulisannya dimuat di majalah wanita Belanda de Hollandsche Lelie. J.H Abendanon yang menjabat Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda, membukukan surat-surat Kartini menjadi sebuah buku, yang diberi judul Door Duisternis tot licht ( Habis Gelap Terbitlah Terang ). Buku tersebut diterbitkan tahun 1911 dan mengalami cetak ulang lima kali. Surat terbuka Kartini akhirnya merubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi.
Surat Kartini banyak menggugat ketidakadilan dalam memperlakukan kaum hawa. Terutama sekali menyangkut budaya Jawa saat itu yang dirasa menghambat kemajuan. Perempuan bukanlah makhluk yang lemah dan tidak berdaya menentukan hidupnya sendiri. Bukan untuk dipingit, dimadu dan dibatasi geraknya dalam persamaan hak dengan kaum pria. Walaupun demikian Kartini pun mengalami nasib sama, yaitu dipingit dan dinikahkan dengan pria yang telah beristri tiga. Ia berkeinginan kebebasan menuntut ilmu dan belajar bagi kaumnya. Ia pun mengkritik banyaknya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang mengatas namakan agama. Ia berpendapat agama harus mampu menjadikan seseorang terjaga dari berbuat dosa dan kemungkaran. Bukan sebaliknya.
Kebangkitan perempuan Indonesia
Semangat Kartini ternyata mampu menstimulus kebangkitan perjuangan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Termasuk berdirinya Boedi Oetomo oleh mahasiswa Stovia tahun 1908. Seorang tokoh politik etis, Van Deventer bahkan mendirikan yayasan Kartini di Semarang pada tahun 1912. Yayasan ini berkiprah dalam mencerdaskan kaum perempuan pribumi dengan cara mendirikan sekolah-sekolah.
Maka berdirilah Sekolah Kartini di berbagai daerah seperti di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun dan di Cirebon. Sementara itu bermunculan pula berbagai organisasi perempuan seperti Poetri Mardika, Wanito Oetomo, Wanito Moelio, Aisyiah, Putri Indonesia, Wanita Katolik dan Gerwani. Bahkan pada tahun 1928 diadakan kongres perempuan pertama yang dipelopori oleh Ibu Suardi ( istri Ki Hajar Dewantara ), Ni Suyatin ( Taman Siswa ) dan Ny. Sukonto ( anggota Wanito Oetomo ). Kongres tersebut mengangkat isu kawin paksa, undang-undang perkawinan Islam, dan poligami. Sementara pada kongres kedua mengangkat masalah perdagangan perempuan dan anak.
Tidak dapat dipungkiri semangat emansipasi yang diusung Kartini terus mengalir sepanjang kehidupan bangsa ini. Kemudian muncul tokoh-tokoh pemikir dari kalangan perempuan seperti Dewi Sartika pendiri Sakola Kautaman Istri, Hj. Siti Walidah pendiri Aisyiah, Putri Budi Sejati yang mendirikan asrama perempuan bagi para shelter dimasa perjuangan kemerdekaan. Hal ini menandakan gaung peranan wanita telah meluas ke berbagai kalangan.
Namun disayangkan sekali pada masa awal-awal kemerdekaan, kaum perempuan tidak terwakili pada setiap peralihan kabinet. Dominasi kaum pria di setiap kementrian dalam kabinet sangat mencolok. Ini menandakan kaum wanita masih menempati posisi kedua dalam pemerintahan. Baru pada masa Orde Baru terutama mulai dalam kabinet Pembangunan IV (19 Maret 1983-22 Maret 1988), dibentuk kementrian. Peranan Wanita. Inilah titik awal perhatian pemerintah secara riil terhadap kedudukan perempuan bangsa ini. Hal ini tidak terlepas dari dukungan Hj. Siti Hartienah Soeharto, yang cukup intens dalam memperjuangkan penyetaraan kedudukan kaum hawa. Kita masih ingat bagaimana perjuangan Ibu Tien dalam hal poligami, hingga keluar PP no 10 1983 tentang pelarangan Poligami bagi pejabat negara. Rupanya semangat perjuangan wanita era sebelum kemerdekaan sangat melekat dihati dan pikiran beliau. Demikian pula beliau selalu mengingatkan, tentang budaya kesopanan dan kehalusan budi bahasa yang harus dijunjung tinggi, sebagai kepribadian bangsa Indonesia. Maka kebangkitan perempuan Indonesia mencakup bidang pendidikan, budi pekerti, mental, pemikiran, organisasi dan pemerintahan.
Kartini mungkin akan tersenyum, karena kaumnya hari ini mendapat tempat yang setara dengan kaum laki-laki. Kita dapat melihat diberbagai daerah baik tingkat 1 maupun tingkat 2, bupati maupun gubernur yang dijabat dari kaum hawa. Belum lagi dibeberapa instansi seperti Kepolisian, TNI yang telah memberikan kesempatan wanita menjadi pemimpin di jajarannya. Kabinet Indonesia Bersatu pun banyak menempatkan wanita dalam jajaran kementriannya. Bahkan Ibu Megawati telah tercatat sebagai Presiden Indonesia pertama dari kaum hawa.
Populasi wanita yang lebih banyak daripada pria, sudah barang tentu membutuhkan perhatian yang lebih serius lagi. Apatah lagi generasi suatu bangsa sangat tergantung dari kualitas wanita bangsa itu sendiri. Maka peranan wanita dan pemberdayaannya akan menjadi kontribusi besar bagi peningkatan indeks prestasi bangsa. Merekalah yang akan banyak memberikan warna pada generasi penerus. Maka wanita yang peduli terhadap nasib bangsa ini kedepan, akan menempatkan dirinya sebagai pendidik dan contoh yang baik bagi anak-anaknya.

Saat orang-orang Kristiani pada abad ke-21 mendekati pengajaran rasul Paulus menyangkut istri yang harus tunduk kepada suaminya (Efesus 5:22) dan wanita harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat (I Kor 14:34), mereka harus mengingatkan diri mereka sendiri bahwa pengajaran Paulus sama kontoversialnya di abad pertama seperti pada masa sekarang.
Dunia alkitabiah abad pertama dari Yudaisme dan kebudayaan Greko-Roma dicirikan dengan dominasi pria dan cauvinisme. Tapi pada abad ke-21 kebudayaan Amerika Utara dan Eropa di dominasi oleh politik yang membenarkan persamaan hak pria dan wanita, yang menolak untuk menerima semua perbedaan antara pria dan wanita.
Sebagai contoh, saat Rasul Paulus menulis surat kepada gereja di Efesus, ia mengatakan kepada semua Kristiani (tanpa memadang etnik, status sosial, ataupun jenis kelamin, Gal 3:18) dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus. (Efesus 5:21). Lalu, awal dari Efesus 5:22, ia menjelaskan secara terperinci bagaimana kepatuhan dan hati dari seorang hamba dinyatakan didalam pernikahan.
Di dalam budaya dimana seorang istri dianggap sebagai harta benda dari suaminya, Paulus memerintahkan suami Kristiani untuk mengasihi istri mereka sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan untuk memenuhi tanggung jawab yang telah diberikan oleh AllahNya untuk melindungi, menyediakan bagi, dan memimpin keluarganya dalam sikap yang saleh. Bagaimanakah Kristus mengasihi jemaat? Dengan kasih agape - kata Yunani untuk kasih rohani - yang Ia contohkan dengan memberikan nyawaNya bagi jemaat.
Ini adalah kasih agape yang mengubah pandangan dunia atas kepatuhan dari kekuasaan dan penghormatan berlebihan kepada kerendahan hati dan pelayanan.
Dalam tulisannya kepada Jemaat Korintus, Paulus menulis tulisan tentang Keilahian yang amat menginspirasi pada kasih agape ini yang mana meminta para suami untuk mengasihi istri mereka: " Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.Kasih tidak berkesudahan" (I Kor 13:4-8).
Istri diharapkan untuk menyatakan kepatuhannya dalam pernikahan dengan menyerahkan dirinya kepada suaminya "sama seperti kepada Tuhan" (Efe 5:22). Tidak ada tanda dalam bagian ini atau dalam bagian-bagian lain yang mengatakan bahwa wanita dalam segala hal lebih rendah daripada pria, walaupun itu adalah saat yang didenominasi oleh tradisi kebudayaan dan para rabi. Para pria abad pertama yang menerima surat Paulus kepada jemaat di Efesus pastilah amat terkejut oleh perintah yang baru dan yang menuntut dikorbankannya tempat mereka.
Saat Rasul Paulus mengubah perhatiannya kepada prilaku wanita di gereja, sekali lagi ia membicarakan masalah yang ada dalam konteks catatan penciptaan di Kejadian, yang dengan jelas mengajarkan bahwa pria dan wanita adalah sederajat dan berharga di mata Sang Pencipta (Kejadian 1:26-27).
Dua pesan (I Kor 11:2-16 dan I Kor 14:34-36) menyangkut peranan wanita yang tepat dalam ibadah telah menjadi sumber dari banyak kontroversi di decade belakangan ini. Dalam bagian yang pertama, Paulus menghadapi sejumlah besar kesewenang-wenangan di dalam ibadah dan masalah kesopan-santunan di gereja Korintus. Dalam I Kor 11, Paulus memberikan wanita kebebasan didalam berbicara atau berdoa dalam ibadah, selama mereka bertudung atau menutupi kepala mereka (11:5). Tidak bertudung adalah menghina ay4-5),penghinaan(ay 6,14),ketidakpatutan(ay 13), dan membantah(ay16).
Saat amanat mengenai bagaimana sesuatu dilakukan di gereja memiliki konteks budaya, kebutuhan pada catatan penciptaan sebagai dasar memerlukan penerapan yang melampaui keanekaragaman budaya. Seorang wanita yang berbicara atau berdoa dengan kepala tidak bertudung di Korintus adalah sama dengan wanita yang bernubuat dan berdoa memakai pakaian you can see di gereja pada zaman ini. Prinsip doktrin yang terletak disini adalah bahwa saat wanita berdoa atau berbicara, dia harus melakukannya dengan kerendahan hati, kesalehan dan rasa hormat kepada suaminya.
Di 1 Kor 14:34-36, Paulus menyatakan bahwa wanita harus diam di gereja, yang pertamanya sekilas berkontradiksi dengan pengajaran dimana wanita boleh berdoa dan bernubuat (1 Kor 11:5). Akan tetapi, disini konteks juga adalah kuncinya. Penekanan Paulus dalam pasal 14 dapat ditemukan di ayat terakhir dari pasal, yang menyatakan bahwa segala sesuatu 'harus dilakukan dengan sopan dan teratur'(ay 40).
Di dalam konteks ini, Paulus berhadapan dengan kesulitan-kesulitan khusus dari beberapa anggota gereja Korintus wanita yang mengganggu ibadah dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak pada waktunya dan lainnya. Beberapa dari anggota gereja ini secara terbuka berdebat dengan pria dan menuntut kebebasan mereka untuk berbicara di ibadah umum, hal ini membawa aib bagi gereja, terhadap Allah, dan seluruh komunitas di Korintus (cf. R. C. Prohl, Women in the Church. Grand Rapids: Eerdmans, 1957, pp. 27-28).
Sekali lagi, tuntutan dari hukum Taurat (ay34) membuat perintah untuk kepatuhan wanita dalam normatif gereja, bukan semata-mata budaya atau kebiasaan. Ibadah gereja harus teratur, dan wanita harus patuh terhadap suami mereka. Sama dengan bagian dalam 1 Kor 11, bukannya kepala yang bertudung atau diam, tetapi kerendahan hati dan kepatuhan, adalah pengajaran kerasulan yang sebenarnya.
Bagian terakhir dimana Paulus berhadapan dengan peran wanita di gereja adalah dalam 1 Timo 2:11-15. Sekali lagi, konteks dari pengajaran adalah penting. 1 Timotius 3:15, yang menyatakan bahwa pasal dua dan tiga memerintahkan tentang bagaimana seharusnya orang-orang membawa diri mereka di dalam rumah tangga Allah, yang adalah gereja dari Allah yang hidup,menyediakan konteks dari pesan: Didalam gereja, wanita tidak memegang kuasa yang melebihi pria, sama seperti seorang istri menaruh dirinya sendiri dibawah kuasa suaminya di dalam pernikahannya.
Pengajaran ini tidak mengatakan bahwa semua wanita harus berada di bawah kuasa semua pria dan di dalam semua institusi, tapi daripada itu wanita harus patuh kepada suami mereka dan tidak berada dalam posisi yang berwenang di gereja setempat. Sekali lagi, acuan pada catatan Penciptaan membuat hal ini menjadi pengajaran teologi normatif, bukan budaya. Oleh karena tugas pengembalaan adalah posisi dari kewenangan (Ibrani 13:7,17), hal ini akan menghalangi seorang wanita dari pelayanan sebagai imam di gereja setempat, tapi sikap diam tidaklah diperlukan.
Sebagai kesimpulannya, pengajaran Rasul Paulus sama kotroversialnya dalam menantang prasangka abad pertama melawan wanita sama seperti menantang prasangka abda-21 melawan semua pengajaran yang memuja pada kebenaran mezbah dan politik. Rasul Paulus, dan Alkitab secara umumnya, mengajarkan kesamaan antar jenis kelamin yang diungkapkan lewat cara bagaimana mereka saling melengkapi (Kej 2:18-25) satu sama lain, saat dibandingkan pada kenetralan gender yang akan mengapuskan perbedaan peranan pria dan wanita.
Kita semua harus mengingat bahwa ada banyak jenis kepatuhan. Ada kepatuhan pada kewenangan Ilahi dari Alkitab, dan kemudian ada kepatuhan pada tekanan yang diserap dari budaya sekuler yang menolak kewenangan Kitab Suci saat menemukan dirinya dalam ketidaksetujuan dengan pengajaran Alkitab. Allah berwahyu kepada Paulus untuk memperingatkan para Kristiani: "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Roma 12:2)

Peran Ibu dalam Kehidupan Rohani Katolik

22 12 2005
Narasumber: Suster Marta, MASF dan Ibu Mey Host: Maria Paskanita dan Carolline Silka
MaryinGarden.JPGPada hari ini, 22 Desember, kita memperingati hari ibu. Ibu, mempunyai peran penting dalam perkembangan jiwa seorang anak dan kehidupan rohani keluarga. Kita  sadari, bukan hal yang mudah untuk dapat mendidik , mengurus keluarga dan juga aktif bekerja atau aktif di dalam kegiatan gereja & masyarakat.Nita : Seperti apakah peran wanita pada masa lalu, terutama pada Kitab Suci perjanjian Lama. Apakah situasi saat itu sudah mendukung peran aktif wanita?
Sr. Marta:  Peran & kehidupan wanita pada masa Yahudi masih belum begitu nampak , ini nampak pada
  • Anak Pria masih diagungkan dibanding anak wanita
  • Peran wanita belum terlalu nampak kegiatan agama
Nita :  Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa Wanita masih belum diberi tempat maupun penghargaan yang baik  pada masa Yahudi. Apakah hal ini juga masih berlanjut, terutama disaat Yesus mulai mewartakan Kabar Gembira?
Sr  Marta: Tentunya berbeda, pada masa pewartaan Yesus, Yesus sudah menunjukkan penghargaan terhadap peranan wanita
Nita: Tentunya ini merupakan kabar gembira bahwa Yesus sendiri memberikan peran yang cukup penting dalam karya pewartaannya. Tadi kita telah mendengar peran wanita dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan pada masa Yesus. Namun apakah pandangan ini masih  kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan rohani maupun masyarakat? Ibu Mei mungkin bisa menggambarkan, dengan pengalaman Ibu yang pernah bekerja dalam perusahaan PMA dan aktif dalam kegiatan Gereja dan Masyarakat?
Ibu Mei:Dapat saya gambarkan bahwa pada hampir semua daerah, peran wanita masih dinomor duakan, karena kebanyakan adat di Indonesia masih menganut budaya patriakial. Namun semakin lama, ada perubahan yang lebih baik dalam menghargai peran wanita dalam kehidupan rohani dan kehidupan masyarakat.
Silka :  Dalam doktrin Katolik, peran & keterlibatan wanita dalam pelaksanaan Rencana Allah nampak dalam diri Santa Perawan Maria.  Mengapa kehadiran Yesus perlu diwujudkan dalam proses kelahiran dari seorang wanita?
Sr. Marta: Proses kehadiran Yesus Tuhan kita melalui perantaraan wanita dalam proses kelahiran, mau menunjukkan bahwa Yesus benar–benar Allah dan benar-benar manusia.  
Silka :  Lalu, mengapa Santa Perawan Maria yang terpilih menjadi Ibu bagi Yesus dibandingkan dengan wanita lain?
Sr. Marta: Alasan SP Maria dipilih menjadi Ibu Yesus, dikarenakan oleh Iman Maria  dan juga karena Iman kedua Orang tua Maria, yaitu St Anna dan Yoakim
Silka: Dalam proses selanjutnya, setelah kelahiran Yesus, keluarga kudus harus mengungsi ke Mesir  untuk menghindari pengejaran & pembunuhan terhadap anak lelaki yang baru dilahirkan oleh Herodes. Dari peristiwa ini, nilai rohani apa yang dapat kita ambil?
Sr. Marta:
Dalam perenungan, kita dapat membayangkan bagaimana sebuah keluarga muda harus mengungsi ketempat yang jauh tanpa sanak saudara. Maria sebagai seorang Ibu tentu mengalami
  • Kedekatan seorang Ibu terhadap anaknya
  • Kepasrahan Maria terhadap campur tangan Tuhan dalam kehidupan  
Nita: Sebagai orang Katolik, kita mempunyai figur Santa Perawan Maria sebagai panutan dalam mengarungi kehidupan sehari-hari. Dalam perannya sebagai Ibu dalam mendidik dan mendampingi Yesus, peristiwa apa saja yang mempunyai nilai-nilai yang dapat kita teladani sebagai seorang wanita atau ibu?
Sr. Marta:
  1. Peristiwa dimana Yesus yang berusia 12 tahun tertinggal di Bait Allah di Yerusalem. Ketika kedua orang tua Yesus datan untuk menjemput-Nya, kemudian Yesus berkata“Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Disini ada permenungan, kita sebagai seorang ibu dalam mengasuh anak yaitu: apa yang direncanakan oleh Allah bagi anak-anak kita.
  2. Peristiwa pesta perkawinan di Kana dimana mempelai kehabisan Anggur, Santa Perawan Maria menunjukkan kepedulian sosial dimana ia ingin membantu yang berkesusahan (dari rasa malu) dan mememerintahkan orang di situ untuk melakukan kata-kata Yesus dan Maria menunjukkan bahwa kita harus mempercayai kata-kata perintah Yesus walaupun itu di luar akal dan logika manusia
  3. Ketika Kristus wafat di salib, berdiri di sana Bunda-Nya, Maria, dan St. Yohanes Rasul; Yesus berkata kepada Maria, “Ibu, inilah, anakmu!” mempercayakan bunda-Nya yang janda ke dalam pemeliharaan St. Yohanes; dan kepada St. Yohanes, “Inilah ibumu!” (Yoh 19:26-27).
Silka:   Tetapi dari beberapa gambaran tadi, masih ada kejadian yang mengandung penderitaan, padahal sewaktu malaikat Gabriel mewartakan kabar kepada Maria, hal itu merupakan suatu kabar gembira.
Sr. Marta:  Hal ini sudah diramalkan oleh Simeon & Hanna sewaktu  Yesus dipersembahkan kepada Allah. Simeon mengatakan bahwa hati Maria akan ditusuk-tusuk sebilah pedang dalam mendampingi Putranya.





Read Another


CATEGORIES


Tags


0 Comment :