Jumat, 15 Januari 2016

[Review Film] The 5th Wave (2016)


Alasan terbesar saya menonton The 5th Wave, selain karena saya memang menyukai genre science fiction, tentulah karena ada aktris muda cantik yang kental dengan logat britishnya. Ya, Chloë Grace Moretz saya rasa menjadi daya tarik tersendiri bagi film ini bagi para penikmat film maupun fans Chloe sendiri. Dan ternyata ini adalah film yang diangkat dari novel, biasanya film yang diangkat dari novel akan bagus. Biasanya...

Berkisah tentang para alien yang melakukan invasi terhadap bumi. Alien ini berencana melancarkan 5 jenis gelombang (wave) penghancur yang diyakini akan dapat memusnahkan umat manusia. Cassie (Chloe) yang termasuk dalam manusia yang sembari berusaha bertahan untuk hidup, juga mencoba menyelamatkan adiknya yang saat itu tidak sengaja terpisah.

Jujur saja, The 5th Wave lagi-lagi bukanlah film yang memenuhi ekspektasi hanya dengan melihat trailer dan posternya. Film ini disajikan dengan kesan cerita yang dibuat seadanya karena kurang modal, bisa dibilang film budget rata-rata. Karena dengan melihat poster dan trailernya, anda akan menyangka bahwa visual film ini mungkin akan seperti 2012, atau Independence Day. Namun ternyata kesan visual efek destruktif yang dimunculkan tidak se-'wah' itu. Ya, saya juga tidak berharap banyak karena memang terlihat film ini hanya menjual nama besar novelnya dan tentunya Chloe.

Alien yang ditunjukan di film ini berbentuk manusia. Sayangnya konsep ini sudah banyak dijumpai di film The Thing misalnya, lalu ada film Parasyte dan Under The Skin yang mengusung konsep sama dengan visualisasi yang jauh lebih ekstrim dari film ini. Lalu jika anda menebak seorang Chloe akan menjadi single survivor dan berharap film ini akan se-keren I'm Legend misalnya, berarti ekspektasi anda terlalu tinggi. Film ini keseluruhan adalah film drama dengan bintang-bintang remaja masa kini. Dan sayangnya film based on dystopian teenage novel ini tidak sekuat jika dibanding seperti The Maze Runner atau The Hunger Games.

Memang dari segi pemain, Chloe memengang peranan besar di film ini. Lalu kemunculan Evan Walker (Alex Roe) mungkin ditaruh sebagai 'penyegar' bagi kaum hawa. Yang disayangkan adalah seorang Tony Revolori yang lagi-lagi tidak bisa berbuat banyak karena memang porsinya yang sedikit.

Dari segi cerita, film ini entah mau membawa penonton ke arah mana. Semua serba tanggung. Ketegangan yang tanggung, kisah romansa yang tanggung, humor yang tanggung, visual efek yang tanggung. Entah karena sensor atau apa. Beberapa eksekusi akhir terhadap premis-premis yang dimunculkan, baik di awal, tengah maupun akhir terkesan "seadanya" dan kurang "greget" dengan plot yang bisa dibilang sangat umum. Mungkin pak sutradara J. Blakeson ingin buru-buru memasukkan semua elemen dari novelnya tanpa memikirkan bahwa penonton yang tidak membaca novelnya mungkin akan banyak bertanya-tanya.

Buruk sekali tidak, namun film ini hanya cocok ditonton jika anda fans novelnya, fans Chloe atau butuh sekedar hiburan. Sedangkan bagi yang mengharapkan kualitas, jangan berharap banyak. Entah karena ini memang cerita dari bukunya yang kurang bagus atau memang film ini gagal dalam merepresentasikannya.






Read Another


CATEGORIES


Tags


4 komentar :